Selama ini berkembang mitos kalau seseorang
dengan otak kanan umumnya kreatif, intuitif, berseni, sementara orang
otak kiri cenderung pemecah masalah, lebih linier, dan logis.
Mitos ini
lahir dari sains murni, namun teknologi pencitraan modern telah
menunjukkan kalau otak lebih saling fleksibel dari pada yang diduga
sebelumnya.
Mitos ini mungkin berasal
dari tahun 1800an, ketika para ilmuan menemukan kalau sebuah cedera
pada satu sisi otak sering menyebabkan hilangnya kemampuan tertentu.
Sebagai contoh, kemampuan spasial terlihat berada di sisi kanan otak,
sementara bahasa
ada di kiri.
Mitos ini makin kuat di tahun 1960an, ketika para ilmuan
mempelajari pasien epilepsi yang dibedah untuk memotong hubungan antara
kedua belahan otak.
Para peneliti menunjukkan kalau ketika kedua belahan
tersebut tidak dapat berkomunikasi, kedua belahan otak dapat tidak
sadar mengenai eksistensi satu sama lain – dan bahkan merespon berbeda
pada rangsangan.
Sebagai contoh, ketika seorang pasien ditanya apa yang
ingin ia lakukan, otak kirinya mengatakan “tukang kayu” sementara otak
kanan mengatakan “pembalap”.
Namun
lebih baru ini, teknologi pindai otak mengungkapkan kalau peran belahan
otak tidak begitu sederhana seperti diduga. Kedua belahan otak faktanya
saling menggantikan.
Sebagai contoh, pengolahan bahasa, pernah dipercaya
kalau hanya dominasi otak kiri, namun sekarang diketahui terjadi di dua
belahan otak: sisi kiri mengolah tata bahasa dan pengejaan sementara
kanan mengolah intonasi.
Begitu juga, eksperimen menunjukkan kalau
belahan kanan tidak bekerja dalam isolasi dalam kemampuan spasial: otak
kanan tampaknya berhubungan dengan naluri keruangan yang umum, sementara
otak kiri berurusan dengan benda di lokasi tertentu.
Apa
yang benar adalah kalau sisi kanan otak mengendalikan sisi kiri tubuh
dan sebaliknya. Ini artinya, cedera di sisi kiri otak (seperti stroke
otak kiri) dapat menyebabkan kerusakan pada belahan kanan tubuh
(misalnya lumpuh kaki kanan).
sumber ilmu disini